SELAMAT DATANG

Kamis, 14 April 2011

Askep Hepatitis

A. Pengertian
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).

Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001).
Askep Hepatitis


B. Etiologi

Dua penyebab utama hepatitis adalah penyebab virus dan penyebab non virus. Sedangkan insidensi yang muncul tersering adalah hepatitis yang disebabkan oleh virus.
  • Hepatitis virus dapat dibagi ke dalam hepatitis A, B, C, D, E.
  • Hepatitis non virus disebabkan oleh agen bakteri, cedera oleh fisik atau kimia.
Askep Hepatitis


C. Patofisiologi
Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.

Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.

Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik samapi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati.
Askep Hepatitis


D. Tanda dan Gejala
  1. Masa tunas
    • Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
    • Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
    • Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
  2. Fase Pre Ikterik
    Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
  3. Fase Ikterik
    Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
  4. Fase penyembuhan
    Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.
Askep Hepatitis


E. Pemeriksaan Diagnostik
  1. Laboratorium
    • Pemeriksaan pigmen
      • urobilirubin direk
      • bilirubun serum total
      • bilirubin urine
      • urobilinogen urine
      • urobilinogen feses
    • Pemeriksaan protein
      • protein totel serum
      • albumin serum
      • globulin serum
      • HbsAG
    • Waktu protombin
    • Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
      • AST atau SGOT
      • ALT atau SGPT
      • LDH
      • Amonia serum
  2. Radiologi
    • foto rontgen abdomen
    • pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
    • kolestogram dan kalangiogram
    • arteriografi pembuluh darah seliaka
  3. Pemeriksaan tambahan
    • laparoskopi
    • biopsi hati
Askep Hepatitis


F. Komplikasi
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.

G. Pengobatan
Hepatitis akut hanya memberi efek sedikit pada perjalanan penyakit. Pada permulaan penyakit. Secara tradisional dianjurkan diet rendah lemak, tinggi karbohidrat, yang ternyata paling cocok untuk selera pasien yang anoreksia. obat-obatan tambahan seperti vitamin, asam-amino dan obat lipotropik tak diperlukan. Obat kortikosteroid tidak mengubah derajat nekrosis sel hati, tidak mempercepat penyembuhan, ataupun mempertinggi imunisasi hepatitis viral.

Hepatitis kronik tidak dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur, aktivitas latihan kebugaran jasmani (physical fitness) dapat dilanjutkan secara bertahap. Tidak ada aturan diet tertentu tetapi alkohol dilarang. Sebelum pemberian terapi perlu dilakukan biopsi hati, adanya hepatitis kronik aktif berat merupakan petunjuk bahwa terapi harus segera diberikan. kasus dengan tingkat penularan tinggi harus dibedakan dari kasus pada stadium integrasi yang relatif noninfeksius; karena itu perlu diperiksa status HbeAg, antiHBe dan DNA VHB.

Pada kasus hepatitis karena obat atau toksin dan idiosinkrasi metabolik dapat diberikan cholestyramine untuk mengatasi pruritus yang hebat. Terapi-terapi lainnya hanya bersifat suportif.
Askep Hepatitis




Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Hepatitis


A. Pengkajian
  1. Keluhan Utama
    Penderita datang untuk berobat dengan keluhan tiba-tiba tidak nafsu makan, malaise, demam (lebih sering pada HVA). Rasa pegal linu dan sakit kepala pada HVB, dan hilang daya rasa lokal untuk perokok.
  2. Pengkajian Kesehatan
    1. Aktivitas
      • Kelemahan
      • Kelelahan
      • Malaise
    2. Sirkulasi
      • Bradikardi (hiperbilirubin berat)
      • Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
    3. Eliminasi
      • Urine gelap
      • Diare feses warna tanah liat
    4. Makanan dan Cairan
      • Anoreksia
      • Berat badan menurun
      • Mual dan muntah
      • Peningkatan oedema
      • Asites
    5. Neurosensori
      • Peka terhadap rangsang
      • Cenderung tidur
      • Letargi
      • Asteriksis
    6. Nyeri / Kenyamanan
      • Kram abdomen
      • Nyeri tekan pada kuadran kanan
      • Mialgia
      • Atralgia
      • Sakit kepala
      • Gatal (pruritus)
    7. Keamanan
      • Demam
      • Urtikaria
      • Lesi makulopopuler
      • Eritema
      • Splenomegali
      • Pembesaran nodus servikal posterior
    8. Seksualitas
      • Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan


B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/muntah dan gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan: penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tertahan.
  2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
  3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.


C. Intervensi
  1. Diagnosa Keperawatan 1. :
    Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik: anoreksia, mual/muntah dan gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan: penurunan peristaltik (refleks viseral), empedu tertahan.
    Kriteria Hasil :
    • Pasien akan menunjukkan perilaku perubahan pola hidup untuk meningkatkan/mempertahankan berat badan yang sesuai.
    • Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium dan bebas tanda malnutrisi.

    Intervensi
    • Awasi pemasukan diet/jumlah kalori. Berikan makan sedikit dalam frekuensi sering dan tawarkan makan pagi paling besar.
    • Berikan perawatan mulut sebelum makan.
    • Anjurkan makan pada posisi duduk tegak.
    • Dorong pemasukan sari jeruk, minuman karbonat dan permen berat sepanjang hari.
    • Konsultasikan pada ahli diet, dukungan tim nutrisi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan pasien, dengan masukan lemak dan protein sesuai toleransi.
    • Awasi glukosa darah.
    • Berikan obat sesuai indikasi :
      • Antiemitik (contoh metalopramide (reglan)).
      • Antasida (contoh mylanta).
      • Vitamin (contoh b kokpleks).
      • Terapi steroid (contoh prednison (deltasone)).
    • Berikan tambahan makanan/nutrisi dukungan total bila dibutuhkan.

  2. Diagnosa Keperawatan 2. :
    Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.

    Kriteria Hasil :
    Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)

    Intervensi
    • Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri.
    • Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
      • Akui adanya nyeri
      • Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya.
    • Berikan informasi akurat dan jelaskan penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui.
    • Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi.

  3. Diagnosa Keperawatan 3. :
    Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.

    Kriteria Hasil :
    Pola nafas adekuat

    Intervensi :
    • Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
    • Auskultasi bunyi nafas tambahan
    • Berikan posisi semi fowler
    • Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
    • Berikan oksigen sesuai kebutuhan

Selasa, 12 April 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HALUSINASI


A. Pengertian

Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) pasca indera tanpa adanyarangsangan dari luar yang dapat meliputi semua system penginderaan di mana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik.


Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.

Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lingkungan. Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa ditemukan 85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.


B. Klasifikasi

Klasifikasi halusinasi sebagai berikut :

  1. Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
  2. Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
  3. Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
  4. Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
  5. Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.

C. Etiologi

Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.



D. Psikopatologi

Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.

Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.


E. Tanda dan Gejala

Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).



F. Penatalaksanaan


Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :

  1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
    Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di lakukan.
    Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
  2. Melaksanakan program terapi dokter
    Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
  3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
    Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
  4. Memberi aktivitas pada pasien
    Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
  5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
    Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
Sumber : http://kumpulan-asuhan-keperawatan.blogspot.com/2009/01/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_09.html

Download Askep halusinasi di sini dan di sini



Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Halusinasi

A. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
  1. Faktor predisposisi.
    Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
    • Faktor Perkembangan
      Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
    • Faktor Sosiokultural
      Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
      Faktor Biokimia
      Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
    • Faktor Psikologis
      Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
    • Faktor genetik
      Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
  2. Faktor Presipitasi
    Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman / tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
  3. Perilaku
    Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
    • Dimensi Fisik
      Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
    • Dimensi Emosional
      Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
    • Dimensi Intelektual
      Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
    • Dimensi Sosial
      Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
    • Dimensi Spiritual
      Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
  4. Sumber Koping
    Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
  5. Mekanisme Koping
    Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
  1. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi.
  2. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
  3. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
C. Intervensi
Diagnoasa 1.:
Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan halusinasi
Tujuan : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal.
  2. Pasien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi pasien untuk digunakan
  3. Pasien dapat menggunakan keluarga pasien untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering berinteraksi dengan keluarga.
Intervensi :
  • Bina Hubungan saling percaya
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Dengarkan ungkapan klien dengan empati
  • Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu disesuaikan dengan kondisi klien).
  • Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan dengan halusinasi.
  • Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan tingkah laku halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi.
  • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat alami halusinasi.
  • Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang mengalami halusinasi.
  • Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
  • Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien.
  • Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
  • Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami halusinasi.
  • Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol halusinasi.
  • Bantu klien menggunakan obat secara benar.
Diagnosa 2.:
Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat dan mau berjabat tangan.
  2. Pasien mau menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk bersama.
  3. Pasien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri.
  4. Pasien mau berhubungan dengan orang lain.
  5. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara bertahap dengan keluarga
Intervensi :
  • Bina hubungan saling percaya.
  • Buat kontrak dengan klien.
  • Lakukan perkenalan.
  • Panggil nama kesukaan.
  • Ajak pasien bercakap-cakap dengan ramah.
  • Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
    serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri.
  • Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta yang mungkin jadi penyebab.
  • Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan.
  • Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan.
  • Perlahan-lahan serta pasien dalam kegiatan ruangan dengan melalui tahap-tahap yang ditentukan.
  • Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai.
  • Anjurkan pasien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari berhubungan.
  • Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan pasien mengisi waktunya.
  • Motivasi pasien dalam mengikuti aktivitas ruangan.
  • Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan.
  • Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan keluarga.
  • Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab dan car a keluarga menghadapi.
  • Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi.
  • Anjurkan anggota keluarga pasien secara rutin menengok pasien minimal sekali seminggu.
Diagnosa 3.:
Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan : Pasien dapat berhubungan dengan orang lain secara bertahap.
Kriteria Hasil :
  1. Pasien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
  2. Pasien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
  3. Pasien mampu memulai mengevaluasi diri
  4. pasien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya
  5. Pasien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencanan
    Intervensi :
    • Dorong pasien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada dirinya dari segi fisik.
    • Diskusikan dengan pasien tentang harapan-harapannya.
    • Diskusikan dengan pasien keterampilannya yang menonjol selama di rumah dan di rumah sakit.
    • Berikan pujian.
    • Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pasien
    • Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh pasien.
    • Diskusikan strategi koping yang efektif bagi pasien.
    • Bersama pasien identifikasi stressor dan bagaimana penialian pasien terhadap stressor.
    • Jelaskan bahwa keyakinan pasien terhadap stressor mempengaruhi pikiran dan perilakunya.
    • Bersama pasien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak realistic.
    • Bersama pasien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
    • Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok.
    • Diskusikan koping adaptif dan maladaptif.
    • Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptive.
    • Bantu pasien untuk mengerti bahwa hanya pasien yang dapat merubah dirinya bukan orang lain
    • Dorong pasien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri (bukan perawat).
    • Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan / tujuannya.
    • Bantu pasien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang diharapkan.
    • Dorong pasien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang sesuai potensi yang ada pada dirinya.


DAFTAR PUSTAKA
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori dan Tindakan Keperawatan Jiwa, , 2000
Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC, 1995
Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, 1987
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, 1990
Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV.
Sagung Seto, , 2001.
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997
Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, 1998

Sabtu, 09 April 2011

Asuhan Keperawatan Hipertensi



ASUHAN KEPERAWATAN HEPATITIS
A. DEFINISI
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan yang dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan serta bahan-bahan kimia. (Sujono Hadi, 1999).
Hepatitis virus merupakan infeksi sistemik oleh virus disertai nekrosis dan klinis, biokimia serta seluler yang khas (Smeltzer, 2001)

B. ETIOLOGI

Type A
Type B
Type C
Type D
Type E
Metode transmisi
Fekal-oral melalui orang lain
Parenteral seksual, perinatal
Parenteral jarang seksual, orang ke orang, perinatal
Parenteral perinatal, memerlukan koinfeksi dengan type B
Fekal-
oral
Kepa-
rahan
Tak ikterik dan asimto- matik
Parah
Menyebar luas, dapat berkem-
bang sampai kronis
Peningkatan insiden kronis dan gagal hepar akut
Sama dengan D
Sumber virus
Darah, feces, saliva
Darah, saliva, semen, sekresi vagina
Terutama melalui darah
Melalui darah
Darah, feces, saliva

2.Alkohol
Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.

3.Obat-obatan
Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.

C.TANDA DAN GEJALA
1.Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2.Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3.Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4.Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.

D.PATOFOSIOLOGI
Patways
Klik Untuk Melihat Pathway

Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.

Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.

E.PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.Laboratorium
a.Pemeriksaan pigmen
- urobilirubin direk
- bilirubun serum total
- bilirubin urine
- urobilinogen urine
- urobilinogen feses
b.Pemeriksaan protein
- protein totel serum
- albumin serum
- globulin serum
- HbsAG
c. Waktu protombin
- respon waktu protombin terhadap vitamin K
d. Pemeriksaan serum transferase dan transaminase
- AST atau SGOT
- ALT atau SGPT
- LDH
- Amonia serum
2. Radiologi
- foto rontgen abdomen
- pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
- kolestogram dan kalangiogram
- arteriografi pembuluh darah seliaka
3. Pemeriksaan tambahan
- laparoskopi
- biopsi hati

F. KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1.Aktivitas
- Kelemahan
- Kelelahan
- Malaise
2. Sirkulasi
- Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
- Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
3. Eliminasi
- Urine gelap
- Diare feses warna tanah liat
4. Makanan dan Cairan
- Anoreksia
- Berat badan menurun
- Mual dan muntah
- Peningkatan oedema
- Asites/Acites
5. Neurosensori
- Peka terhadap rangsang
- Cenderung tidur
- Letargi
- Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
- Kram abdomen
- Nyeri tekan pada kuadran kanan
- Mialgia
- Atralgia
- Sakit kepala
- Gatal ( pruritus )
7. Keamanan
- Demam
- Urtikaria
- Lesi makulopopuler
- Eritema
- Splenomegali
- Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
- Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus

G. INTERVENSI
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
Hasil yang diharapkan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
a.Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
R/keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan
b.Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering
R/adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.
c.Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
R/akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
d.Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
R/menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
e.Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
R/glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.

2.Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Hasil yang diharapkan :
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
a.Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri
R/nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.
b.Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
- Akui adanya nyeri
- Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya
R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri
c.Berikan informasi akurat dan
- Jelaskan penyebab nyeri
- Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui
R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan)
d. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi
R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.
Hasil yang diharapkan :
Tidak terjadi peningkatan suhu
a. Monitor tanda vital : suhu badan
R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi
b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari) untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.
R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi

c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
d. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
a. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang
b. Sarankan klien untuk tirah baring
R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.
c. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat
R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting
d. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan
e. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)
R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis

5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Hasil yang diharapkan :
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
- Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)
- Keringkan kulit, jaringan digosok
R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf
b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi
c. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus
d. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan

6. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.
Hasil yang diharapkan :
Pola nafas adekuat
Intervensi :
a. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen
b. Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan
c. Berikan posisi semi fowler
R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret
d. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak
e. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia

7. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus
Hasil yang diharapkan :
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
a. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen
- Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
- Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun
R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis
b. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi
R/ teknik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit
c.Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi
d. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat
R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta

ASKEP HYPERBILIRUBYN

Askep HIPERBILIRUBIN



HIPERBILIRUBIN

A. PENGERTIAN
• Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
• Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
• Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit, membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
• Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum (hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002)
• Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek pathologis. (Markum, 1991:314)

B. ETIOLOGI
• Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
• Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam hati.
• Gangguan konjugasi bilirubin.
• Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula timbul karena adanya perdarahan tertutup.
• Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan, misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu.
• Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.

C. MANIFESTASI KLINIS
• Kulit berwarna kuning sampe jingga
• Pasien tampak lemah
• Nafsu makan berkurang
• Reflek hisap kurang
• Urine pekat
• Perut buncit
• Pembesaran lien dan hati
• Gangguan neurologik
• Feses seperti dempul
• Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
• Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
- Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau infeksi.
- Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologi.

D. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kadar bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia. (Markum, 1991)

E. PATHWAY
F. KLASIFIKASI
• Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
• Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
• Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
• Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam memproses bilirubin
• Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Pemeriksaan bilirubin serum
- Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
- Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak fisiologis.
• Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
• Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra hepatic.
• Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati, hepatoma.
• Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
• Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.

H. PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
• Pengawasan antenatal yang baik
• Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi dan masa kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol, novobiosin, oksitosin.
• Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
• Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
• Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
• Pemberian makanan yang dini.
• Pencegahan infeksi.

I. KOMPLIKASI
• Retardasi mental - Kerusakan neurologis
• Gangguan pendengaran dan penglihatan
• Kematian.
• Kernikterus.

J. PENATALAKSANAAN
• Tindakan umum
 Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil
 Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
 Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
 Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
• Tindakan khusus
 Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto.
 Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
 Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
 Terapi transfuse
digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
 Terapi obat-obatan
misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
 Menyusui bayi dengan ASI
 Terapi sinar matahari
• Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin dengan evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap gejala sisa.


Pathways:























ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN

A. PENGKAJIAN
o Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh (hipertermi). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun, pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh), sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan pada retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan fisik
o Riwayat penyakit
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM.
o Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
o Pengkajian psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, perpisahan dengan anak.
o Hasil Laboratorium :
- Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
- Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
2) Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
3) Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
4) Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan



C. INTERVENSI
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
o Tidak ada luka / lesi pada kulit
o Perfusi jaringan baik
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
o Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
o Hindari kerutan pada tempat tidur
o Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
o Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
o Monitor kulit akan adanya kemerahan.
o Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
o Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat


DX II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan suhu dalam rentang normal.
NOC : Termoregulation
Kriteria hasil :
o Suhu tubuh dalam rentang normal
o Nadi dan respirasi dalam batas normal
o Tidak ada perubahan warna kulit
o Pusing berkurang/hilang.
Indicator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
NIC : Fever treatment
o Monitor suhu sesering mingkin
o Monitor warna dan suhu kulit
o Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
o Monitor intake dan output

DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses keperawatan
diharapkan tidak ada resiko cidera.
NOC : risk control
Kriteria hasil :
o Klien terbebas dari cidera
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC : Pencegahan jatuh
o Kaji status neurologis
o Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode pengamanan
o Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
o Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
o Observasi tingkat kesadaran dan TTV
o Dampingi pasien

Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan selama proses keperawatan diharapkan keluarga dan pasien tidak cemas.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
o Monitor intensitas kecemasan.
o Menyingkirkan tanda kecemasan.
o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Penurunan Kecemasan
Intervensi :
o Tenangkan klien.
o Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan.
o Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
o Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.
NIC II : Peningkatan Koping.
o Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
o Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan.
o Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.

Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan diharapkan keluarga dapat mendapat pengetahuan mengenai penyakit yang diderita anaknya.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan
o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
Intervensi :
o Jelaskan patofisiolagi dari penyakit
o Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara yang benar
o Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
o Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat
o Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses pengontrolan penyakit.

D. EVALUASI
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Kriteria Hasil :
o Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5)
o Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5)
o Perfusi jaringan baik (skala 5)
o Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang (skala 5)
o Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami (skala 5)

Dx II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar lingkungan panas.
Kriteria Hasil :
o Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 1)
o Nadi dan respirasi dalam batas normal (skala 1)
o Tidak ada perubahan warna kulit (skala 1)
o Pusing berkurang/hilang (skala 1)


Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan kadar bilirubin.
Kriteria Hasil :
o Klien terbebas dari cidera (skala 5)
o Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera (skala 5)
o Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri. (skala 5)

Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
o Monitor intensitas kecemasan. (skala 5)
o Menyingkirkan tanda kecemasan. (skala 5)
o Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan. (skala 5)
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
o Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya. (skala 5)
o Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. (skala 5)
o Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. (skala 5)

Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
Kriteria Hasil :
o Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan (skala 5)
o Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar (skala 5)
o Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya (skala 5)




DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.

Doengoes,M.E. 1999. Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Http://www.medicastore.com

Http://www.google.com

Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification (NOC) Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby.

Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing Intervention Classification (NIC) Edisi 2. Westline Industrial Drive, St. Louis :Mosby.

Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA . Jakarta : Prima Medika.

Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

Surasmi, Asrining. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Separman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 2. Jakarta : FKUI.

KUMPULAN ASKEP


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat. Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku, kelojotan dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, napas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Kejang biasanya berakhir kurang dari 1 menit, tetapi walaupun jarang dapat terjadi selama lebih dari 15 menit.
Anak merupakan hal yang penting artinya bagi sebuah keluarga. Selain sebagai penerus keturunan, anak pada akhirnya juga sebagai generasi penerus bangsa. Oleh karena itu tidak satupun orang tua yang menginginkan anaknya jatuh sakit, lebih-lebih bila anaknya mengalami kejang demam.
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73)
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dari 193 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132 orang dari 236 orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Bangkitan kejang berulang atau kejang yang lama akan mengakibatkan kerusakan sel-sel otak kurang menyenangkan di kemudian hari, terutama adanya cacat baik secara fisik, mental atau sosial yang mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak. (Iskandar Wahidiyah, 1985 : 858) .
Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera. Diagnosa secara dini serta pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Untuk itu tenaga perawat/paramedis dituntut untuk berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada keluarga dan penderita, yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang klien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah : Mencegah/mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan penanganannya. (I Made Kariasa, 1999; 262).
Anak merupakan makhluk yang unik, karena anak memilki karakteristik tersendiri sesuai tahapan usia anak. Kejang demam pada anak diklasifikasikan berdasarkan usia anak. Kejang demam yang biasa dialami anak ialah usia 6 bulan sampai 4 tahun. Jika kejang dialami oleh anak usia lebih dari 6 tahun lebih dikategorikan sebagi kejang tanpa demam ( epilepsi ).
Berdasarkan hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit kejang demam dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya kepada anak.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan anak pada klien dengan gangguan sistem saraf yaitu kejang demam
2. Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
1. definisi penyakit kejang demam pada anak.
2. etiologi penyakit kejang demam pada anak.
3. manifestasi klinik penyakit kejang demam pada anak .
4. patofisiologi penyakit kejang demam pada anak.
5. komplikasi penyakit kejang demam pada anak.
6. pemeriksaan diagnostik penyakit kejang demam pada anak .
7. penatalaksanaan penyakit kejang demam pada anak.
8. asuhan keperawatan yang harus diberikan pada klien dengan kejang demam.
BAB II
TINJAUAN TEORI
I. Konsep dasar Kejang Demam
A. Pengertian Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (Arif Mansjoer. 2000)
Kejang demam (febrile convulsion) ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. (Taslim. 1989)
Kejang Demam (KD) adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi. Suhu badan yang tinggi ini disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. (Livingston, 1954)
Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang bersifat sementara (Hudak and Gallo,1996).
Kejang demam adalah serangan pada anak yang terjadi dari kumpulan gejala dengan demam (Walley and Wong’s edisi III,1996).
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau anak mengalami demam tanpa infeksi sistem saraf pusat (1,2). Hal ini dapat terjadi pada 2-5 % populasi anak. Umumnya kejang demam ini terjadi pada usia 6 bulan – 5 tahun dan jarang sekali terjadi untuk pertama kalinya pada usia <> 3 tahun. (Nurul Itqiyah, 2008)
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering di jumpai pada usia anak dibawah lima tahun.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. (Ngastiyah, 1997; 229).
B. Etiologi Kejang Demam
Penyebab kejang demam menurut Buku Kapita Selekta Kedokteran belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Demam yang terjadi sering disebabkan oleh :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
2. Gangguan metabolik
3. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
4. Keracunan obat
5. Faktor herediter
6. Idiopatik.
(Arif Mansjoer. 2000)
C. Patofisiologi Kejang Demam
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitrlXtmUJ_oIJ7_DitgM7LHeHIKROW84uO_p_BuqOJaiAidcU86eWbUPkfbRniwm1UdUyGUHEamLK3yKeLKvFOexKiiOkuwcwHDlBug4xT0W_XW5a7YLE55LcQbW0eXFI5jcy93eZHQUo/s320/patofiskejang.bmp(klik aja biar keliatan)
D. Klasifikasi Kejang Demam
Menurut Livingston ( 1954) Kejang demam di bagi atas dua :
Kejang demam sederhana : Kejang demam yang berlangsung singkat. Yang digolongkan kejang demma sederhana adalah
a. kejang umum
b. waktunya singkat
c. umur serangan kurang dari 6 tahun
d. frekuensi serangan 1-4 kali per tahun
e. EEG normal
Sedangkan menurut subbagian saraf anak FKUI, memodifikasi criteria livingston untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana yaitu :
a. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun
b. Kejang berlangsung sebentar, tidak melebihi 15 menit.
c. Kejang bersifat umum.
d. Kejang timbul dalam 16 jam pertama
e. Pemeriksaan neurologist sebelum dan sesudah kejang normal
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak menunjukkan kelainan.
g. Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
(Taslim. 1989)

E. Manifestasi klinis
Gejala berupa
1. Suhu anak tinggi.
2. Anak pucat / diam saja
3. Mata terbelalak ke atas disertai kekakuan dan kelemahan.
4. Umumnya kejang demam berlangsung singkat.
5. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekauan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
6. Serangan tonik klonik ( dapat berhenti sendiri )
7. Kejang dapat diikuti sementara berlangsung beberapa menit
8. Seringkali kejang berhenti sendiri.
(Arif Mansjoer. 2000)
F. Komplikasi
Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan :
1. Kerusakan sel otak
2. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral
3. Kelumpuhan (Lumbatobing,1989)
G. Pemeriksaan laboratorium
1. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah kejang.
2. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral, dan Abses.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis
4. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam.
(Suryati, 2008), ( Arif Mansyoer,2000), (Lumbatobing,1989)
H. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar oksigennisasi terjami. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejangadalah diazepam yang diberikan intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang demam berlangsung lama.
3. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
1. sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist sementara dan menetap.
3. Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
4. bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.
( Arif Mansyoer,2000)



II. Konsep asuhan keperawatan
A. Pengkajian
Menurut Doenges (1993 ) dasar data pengkajian pasien adalah :
a. Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot.

b. Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.

c. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan
tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).

d. Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.

e. Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.

f. Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.

g. Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
B. Pemeriksaan diagnostik
1. Periksa darah / lab : Hb. Ht, Leukosit, Trombosit
2. EEG
3. Lumbal punksi
4. CT-SCAN
C. Diagnosa keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
2. Tidak Efektinya Bersihan Jalan Nafas b.d Peningkatan Sekresi Mukus
3. Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu tubuh
4. Resiko tinggi kejang berulang b.d riwayat kejang
5. Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.



D. Intervensi keperawatan
1. Dx 1 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kebutuhan cairan klien terpenuhi.
Kriteria hasil :
- TTV stabil
- Menunjukkan adanya keseimbangan cairan seperti output urin adekuat.
-Turgor kulit baik
- membrane mukosa mulut lembab
Intervensi :
1. Ukur dan catat jumlah muntah yang dikleuarkan, warna, konsistensi.
R/ : menentukan kehilangan dan kebutuhan cairan tubuh
2. Berikan makanan dan cairan
R/ : memnuhi kebutuhan makan dan minum
3. Berikan support verbal dalam pemberian cairan
R/ : meningkatkan konsumsi cairan klien
4. Kolaborasi berikan pengobatan seperti obat antimual.
R/ : menurunkan dan menghentikan muntah klien
5. Pantau Hasil Pemeriksaan Laboratorium
R/ Untuk mengetahui status cairan klien.
2. Dx 2 Tidak Efektinya Bersihan Jalan Nafas b.d Peningkatan Sekresi Mukus
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan bersihan jalan nafas efektif
Kriteria hasil :
-sekresi mukus berkurang
- tak kejang
- gigi tak menggigit
Intervensi :
1. Ukur Tanda-tanda vital klien.
R/ : untuk mengetahui status keadaan klien secara umum.
2. Lakukan penghisapan lendir
R/ : menurunkan resiko aspirasi
3. Letakan klien pada posisi miring dan permukaan datar
R/ : mencegah lidah jatuh kebelakang dan menyumbat jalan nafas
4. Tanggalkan pakaian pada daerah leher atau dada dan abdomen
R/ : untuk memfasilitasi usaha bernafas
3. Dx. 3 Gangguan volume cairan kurang dari kebutuhann tubuh b.d peningkatan suhu tubuh
Tujuan : Keseimbangan cairan terpenuhi
1. Observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
R/ peningkatan suhu tubuh dari yang normal membutuhkan penambahan cairan.
2. Hitung Intak & Output setiap pergantian shift.
R/ Untuk mengetahui keseibangan cairan klien.
3. Anjurkan pemasukan/minum sesuai program.
R/ membantu mencagah kekurangan cairan.
4. Kolaborasi pemeriksaan lab : Ht, Na, K.
R/ mencerminkan tingkat / derajat dehidrasi.
4. Dx. 4 Resiko tinggi kejang berulang b.d riwayat kejang
Tujuan : Agar tidak terjadi kejang berulang
1. Observasi TTV (suhu tubuh) tiap 4 jam
R/ peningkatan suhu tubuh dapat mengakibatkan kejang berulang.
2. Observasi tanda-tanda kejang.
R/ untuk dapat menentukan intervensi dengan segera.
3. Kolaborasi pemberian obat anti kejang /konvulsi.
R/ menanggulangi kejang berulang.
5. Dx. 5 Perubahan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
Tujuan : Peningkatan status nutrisi
1. Tingkatkan intake makanan dengan menjaga privasi klien, mengurangi gangguan seperti bising/berisik, menjaga kebersihan ruangan.
R/ cara khusus meningkatkan napsu makan.
2. Bantu klien makan
R/ membantu klien makan.
3. selingi makan dengan minum
R/ memudahkan makanan untuk masuk.
4. Monitor hasil lab seperti HB, Ht
R/ : Monitor status nutrisi klien
5. Atur posisi semifowler saat memberikan makanan.
R/ : Mengurangi regurtasi.
E. Evaluasi
1. Kekurangan volume cairan tidak terjadi
2. Bersihan Jalan Nafas kembali efektif
3. Keseimbangan kebutuhan cairan klien tercukupi.
4. Resiko tinggi kejang berulang tidak terjadi
5. kebutuhan Nutrisi klien dapat terpenuhi.
BAB III
CONTOH GAMBARAN KASUS
A. Gambaran kasus
Klien An. D umur 3 tahun 6 bulan dirawat di RSF dari tanggal 10 Juni 2008 dengan keluhan kejang demam selama dirumah 3 kali selama 24 jam, kejang pertama ± 15 menit, kejang kedua ±10 menit, kejang ketiga ± 5 menit, tangan dan kaki mengepal pada saat kejang, suhu klien 39,5O C. Keadaan umum klien lemah,nadi 120x/menit, RR 26 kali/menit, Suhu 39,5O C, klien terlihat gelisah, ubun-ubun besar cekung, mukosa mulut kering, BB saat masuk RS IGD 9,5 kg,Berat badan saat ini 8,1 kg, Lingkar lengan atas 14 cm (ideal 16 cm) ,Tb 75 cm, muntah sebanyak ½ aqua geas (120cc) berisi cairan kuning kecoklatan, sebelum & saat dirawat klien tidak mau makan. Intake klen minum sebanyak 300 cc & infuse 400 cc, total 700 cc, Output BAK&BAB :340 cc, Iwl 110 cc, Total :450 cc, Balance : 250 cc Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Juni 2008 Hb: 11,6 g/dl (N:13,2-17,3 g/dl), Ht: 38% (N:31-59%), Leukosit : 13.500/ul, Trombosit: 81 ribu/ul, Eritrosit: 3.51 juta/ul. Leukosit: 13.500/µL(N= 6.000 – 17.500/µL), Trombosit : 400.000 /µL (N= 150.000 – 440.000/µL), Eritrosit : 5juta/µL(N= 3,60 – 5,20 juta/µL), Natrium : 131 mmol/L (N= 135 – 145 mmol/L), Kalium: 2,4 mmol/L (N= 3,5 – 5,5 mmol/L), Clorida : 100 mmol/L (N= 98 – 105 mmol/L)
B. Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.
Dari data diatas penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan adalah sebagai berikut :
Diagnosa 1 : Kekurangan Volume cairan b.d mual dan muntah. Ditandai dengan : DS : -. DO : keadaan umum lemah, mucosa mulut kering,konjungtiva anemis, capilarry refill 3 detik, muntah ± ½ aqua gelas (120cc) berisi cairan kuning kecoklatan, Nadi :120x/menit, RR 26x/menit, Suhu : 39,5º C, Hasil Lab 10 Juni 2008 Natrium: 131 mmol/L (N= 135 – 145 mmol/L), Kalium: 2,4 mmol/L (N= 3,5 – 5,5 mmol/L), Clorida : 100 mmol/L (N= 98 – 105 mmol/L).
Perencanaan keperawatan : Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam kebutuhan cairan klien terpenuhi. Kriteria hasil : Tanda – tanda vital dalam batas normal :N : 60 – 80 x / mnt, S : 36º - 37ºC, RR : 16 – 20 x / mnt, mukosa mulut lembab, muntah teratasi,konjungtiva tidak anemis, capilarry refill < style=""> hasil laboratorium normal Natrium: 135 – 145 mmol/L, Kalium: 3,5 – 5,5 mmol/L, Clorida : N= 98 – 105 mmol/L.
Intervensi : Ukur dan catat jumlah muntah yang dikleuarkan, warna, konsistensi. Berikan makanan dan cairan, Berikan support verbal dalam pemberian cairan, Kolaborasi berikan pengobatan seperti obat antimual, Pantau Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Implementasi : Ukur dan catat jumlah muntah yang dikleuarkan, warna, konsistensi. Berikan makanan dan cairan, Berikan support verbal dalam pemberian cairan, Kolaborasi berikan pengobatan seperti obat antimual, Pantau Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi akhir : S : Klien mengatakan sudah dapat minum. O : Tanda – tanda vital dalam batas normal :N : 60 – 80 x / mnt, S : 36º - 37ºC, RR : 16 – 20 x / mnt, mukosa mulut lembab, muntah teratasi, Lingkar lengan atas ideal 16 cm, hasil laboratorium normal Natrium: 135 – 145 mmol/L, Kalium: 3,5 – 5,5 mmol/L, Clorida : N= 98 – 105 mmol/L.. A: Masalah kekurangan cairan dapat teratasi. P : hentikan intervenís
Diagnosa 2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat Ditandai dengan data – data sebagai berikut : DS: Ibu klien mengatakan sebelum dan saat dirawat tidak napsu makan. DO: K.U: lemah, BB awal mei 2008 9,5 kg saat masuk RS IGD 8,1 kg, muntah ½ gelas Aqua(120cc), Lingkar lengan atas 14 cm ( ideal 16 cm), Hasil Laboratorium tanggal 10 Juni 2008 Hb: 11,6 g/dl (N:13,2-17,3 g/dl), Ht: 38% (N:31-59%).
Perencanaan keperawatan, Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperwatan 3 x 24 jam nutrisi terpenuhi dan berat badan meningkat. Kriteria hasil : BB naik 0.25kg(ideal 12kg), mual dan muntah klien dapat teratasi, napsu makan bertambah, Hb&Ht dalam batas normal (Hb:10.8-15.6 g/dl & Ht: 35-43%).
Intervensi : Tingkatkan intake makanan dengan menjaga privasi klien, mengurangi gangguan seperti bising/berisik, menjaga kebersihan ruangan. Bantu klien makan, selingi makan dengan minum, Monitor hasil lab seperti HB & Ht, Atur posisi semifowler saat memberikan makanan.
Implementasi : Tingkatkan intake makanan dengan menjaga privasi klien, mengurangi gangguan seperti bising/berisik, menjaga kebersihan ruangan. Bantu klien makan, selingi makan dengan minum, Monitor hasil lab seperti HB & Ht, Atur posisi semifowler saat memberikan makanan. Evaluasi akhir : S: ibu mengatakan susu diberikan sesuai jadwal. O : BB naik 0.3 Kg jadi 9.5kg Hb: 9.2g/dl, Ht: 30%, A : masalah kekurangan nutrisi belum teratasi. P : lanjutkan intervensi Dx.2
Diagnosa 3 : Resiko injuri berhubungan dengan kejang berulang. Ditandai dengan data – data sebagai berikut : DS : ibu klien bertanya penanganan kejang. DO : penghalang tempat tidur tidak terpasang, S : 38.3ºC, N: 124x/menit, RR:42X/menit
Perencanaan keperawatan : Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam injuri tidak terjadi. Kriteria hasil : orang tua dapat mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan cidera, mampu melakukan penanganan kejang, menunjukan koping positif.
Intervensi : berikan posisi yang aman, memasang pengaman tempat tidur, memberikan penjelasan kepada orang tua tentang penanganan kejang.
Implementasi : observasi suhu(penyebab kejang), memberikan posisi yang aman, memberikan penjelaan kepada orang tua tentang penanganan kejang..
Evaluasi akhir : S : ibu klien mengatakan sudah tidak terjadi kejang, sudah memasang penghalang. O : S : 37,2ºC, N: 124x/menit, RR: 42X/menit. Klien tidak kejang, pengaman tempat tidur sudah terpasang dengan baik A : masalah resiko injuri tidak terjadi. P: Lanjutkan intervensi Dx.2
.
BAB IV
PENUTUP
Pada bab ini penulis akan membahas contoh asuhan keperawatan pada An.D yang mengalami kejang demam yang telah divas pada bab III serta memberikan saran untuk masalah keperawatan yang harus diintervensi serta berkesinambungan.
A. Kesimpulan
1. Dari hasil pengkajian pada An. D menurut contoh gambaran kasus diatas mendapatkan hasil data yang sesuai dengan teori yaitu seperti adanya kejang demam yang disebabkan demam yang tinggi yaitu dengan suhu 39,5º , tidak ada respon verbal, frekuensi pernapasan meningkat 26 x/menit.
2. Diagnosa keparawatan yang ditemukan pada klien sesuai gambaran kasus diatas yaitu : Kekurangan Volume cairan b.d mual dan muntah, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat, Resiko injuri berhubungan dengan kejang berulang.
3. Intervensi keperawatan pada An. D telah disusun sesuai dengan teori atau konsep dasar asuhan keperawatan. Intervensi meliputi juga tindakan yang dilakukan secara mandiri dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
4. Implementsi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat dan disesuaikan dengan keadaan klien yang terjadi di rumah sakit.
5. Adapun evaluasi akhir dari keseluruhan asuhan keperawatan yang telah diberikan. Evaluasi dilaksanakan secara sumatif yaitu dengan memberikan kesimpulan dari hasil pelaksanaan asuhan keperawatan secara keseluruhan.
B. Saran
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan datang, diantaranya :
1. Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang rencana keperawatan pada pasien dengan kejang demam, pendokumentasian harus jelas dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga.
2. Dalam rangka mengatasi masalah resiko injuri pada klien dengan kejang demam maka tugas perawat yang utama hádala sering memantau frekuensi pernapsan anak, memperhatikan posisi anak, pengaman pada tempat tidur anak.
3. Untuk keluarga diharapkan selalu membantu dan memotivasi klien dalam proses penyembuhan.




DAFTAR PUSTAKA
Lumbantobing. 1989. Penatalaksanaan Mutakhir Kejang Pada Anak.Jakarta : FKUI
Mansjoer, arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III vol. 1. Jakarta : Media Aesculapius.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2, hal 847. Cetakan ke 9. 2000 bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Doenges, E, Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.











HIPOSPADIA

HIPOSPADIA

PENGERTIAN
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan kelamin bawaan sejak lahir.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
SEJARAH
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWAf0GC11bSLvbP1AmCWlF_mhMlLcUksNEa1cag-7u3aDtJqaV0nCvHr8YO207HWDXa60NQSCO6QZ1FsyAxqnWYcLsbQcKfZmZMr0QA6V4gFOoZVasGnKl9gvNaFLEkeI4uaBi5asi-c8/s320/1.bmp
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti oleh Galen dan Paulus dari Agentia pada tahun 200 dan tahun 400.12 Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 dengan memperkenalkan secara detail rekonstruksi uretra. Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian besar merupakan multi-stage reconstruction; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan recurvatum, kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty.1,8,11 Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu; membutuhkan operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik.8 Pada tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one-stage repair untuk mengurangi komplikasi dari teknik multi-stage repair. Cara ini dianggap sebagai rekonstruksi uretra yang ideal dari segi anatomi dan fungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik, komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.8


ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
  1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
  1. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
  1. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi
PATOFISIOLOGI
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxO5g9uhrKCW9leWPfTvtlhgalA_uSIVo0qD1McIV-B9neUpVLJ4RfUVOhiixFM-GwuqCVw4qBAExnU8rUPe05SimJNfLJjlJ31C7z4ntu3Lp-jlqIw4m4Gns98H_gHe0HEpKvfmwwvIc/s320/2.bmp
  • Hipospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembngan uretra dalam utero.
  • Hipospadia dimana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan skrotum.
  • Hipospadia adalah lubang uretra bermuara pada lubang frenum, sedang lubang frenumnya tidak terbentuk, tempat normalnya meatus urinarius ditandai pada glans penis sebagai celah buntu.
GEJALA HIPOSPADIA
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
2. Penis melengkung ke bawah

3. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis

4. Jika berkemih, anak harus duduk.
DIAGNOSIS
Diagnosis hipospadia biasanya jelas pada pemeriksaan inspeksi. Kadang-kadang hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal. Jika tidak teridentifikasi sebelum kelahiran, maka biasanya dapat teridentifikasi pada pemeriksaan setelah bayi lahir.3 Pada orang dewasa yang menderita hipospadia dapat mengeluhkan kesulitan untuk mengarahkan pancaran urine. Chordee dapat menyebabkan batang penis melengkung ke ventral yang dapat mengganggu hubungan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk, dan hipospadia jenis ini dapat menyebabkan infertilitas. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.
Diagnosis bias juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.
KLASIFIKASI HIPOSPADIA
1. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior

Hipospadia Glandular


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEio-RUmYPuSYXrOU-i42LB3hle2Cz-9q6VBbv9yx-PJZ2DBiz205ykn-X-ZHcu8bqptsvCK3H9LRuRyOY6O-HLTA2_cVB_kxAFf_fiZiS2L18ivs5P_zf0GclnCVrRwLEsN1Lf1zkRNtOs/s320/3.bmp


HipospadiaSubcoronal



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjS0CB0BxF-xDCWQrlA_hC9YYId9DAywtP8Sy8uGU2l_g-mDJqGfFD4BPX_zkUPieygOIj_n9ixEW3pNHOHUIlutvIPRHzJ8q8URCK4NsXPa1EH-miWw1djLiXEzGd8QqfAzwVlxUAf8m4/s320/4.bmp
2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah
Hipospadia Mediopenean

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtFXn8H2VRHv4zesvR3Gjgwk6MfdSsQGIAjfxAaxMFbCKj9TrXcyqJ-0DpFhhTG_BEM45V_vJa_ydcbQxAwwadKGhCNLJCAUP7vyJzVxAfCqAjKQMZjg2ojKKe9tAKQ2BagxZ_7Qu_si0/s320/5.bmp
Hipospadia Peneescrotal

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-w46JwXWz2Ws6jbjOvZNr1HKXjtPvE3DS5zlD842vFXNTx8LDsTn3DOW-PYZY7tGhmSdIVPfSQZxTlo_z6oYyZPoYEJUeNQuv_P-ZiNkXw1CvBIkDpvgi35ZAvakmM-DetaqTcMVQvgs/s320/6.bmp
3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior
Hipospadia Perineal

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXteRUK7CGNmn-2YSDcWzh9jDALam-80g7c3X5SESdhjkOaFepr1aM7AZQpptB-2k35tTrIH-2wjiitaqgnysYSsuzDY0YIBOnVMGeiZDcE-2Jw6vJmjgKBtvLr-CeBUBmmhPQXdIeKAg/s320/7.bmp
KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
Komplikasi lanjut
Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
Fistula uretrocutaneus
Striktur uretra
Adanya rambut dalam uretra
PENATALAKSANAAN
Untuk saat ini penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah. Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu “spesial”, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus melakukannya dengan jongkok aga urin tidak “mbleber” ke mana-mana. Anak yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain :
  1. Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin. Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok.
Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
  1. Uretroplasty
Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glans penis. Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama.
Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada vesica urinaria (kandung kemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.
CONTOH GAMBAR HIPOSPADIA





https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitBGKuYORWubpsPpaFIIB4hjhngh9hyphenhyphenUeErUeDdRehSIKZIRdvrG1FEWqPkSuOVwitc_t98duzUfolMg_mCigb5O7Z52lHoyuXuWU8D6BbBa_fYIRrEuEaUN2F0jd9-v0WoBt15plasV4/s320/3.bmp
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6WQ11jyBg_DSG9A0kBA9q18DgtGLt3ruteTkWCtAY05XOlK6Kcypg5J-EtrzbVtPCuwA5jXugRgWhlUXajreyIWo5gr0ESR6sipxpAs7uN2Z2bnTbC4FvyTjOj6bUZtvTx72AeEP83q0/s320/1.bmp
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPTZcRlMQs0c_r0PZ6fWx5h2kYHIIUUfl6gu_JLBy5pic7SAxL77JHiJDU1B780iBzZh3-PCo1PRuxW9u0EOxy-Os_bio6hRbd67hfSsUzunJvCwA_200HbI-5lUt8Hfd1jYhPdgVUmRg/s320/2.bmp



 SHAPE  \* MERGEFORMAT
 SHAPE  \* MERGEFORMAT
 SHAPE  \* MERGEFORMAT
 SHAPE  \* MERGEFORMAT













Daftar Pustaka
Sastrasupena H., Hipospadia, Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995: 428-435
Sjamsuhidajat R., Hopospadia, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta: 1997: 1010
Purnomo B.B., Uretra dan Hipospadia, Dalam Dasar-dasar Urologi, Malang, 2000 : 6,137-138
Suriadi . Rita, Yuliani . 2001 . Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta : CV. Sagung Seto
Hassan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak. (Ed. Ke-1).Jakarta : Infomedika
Hassaan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak.(Ed.Ke-3). Jakarta : Infomedika
Wahab, Samik.(ed). 2000. Ilmu Kesehatan Anak.(Ed. Ke-15 vol 2).Jakarta : Buku Kedokteran EGC
www.google.com



25 Okt, 2008
Author: Tyo | Filed Under: ASKEP Cardiovascular | http://www.blogger.com/img/icon18_email.gifhttp://www.blogger.com/img/icon18_edit_allbkg.gif
Pengertian
Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mm Hg
atau lebih dan tekanan diastolic 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHG (Luckman Sorensen,1996).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolic 90 mmHg atau
lebih. (Barbara Hearrison 1997)
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah
peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140
mmHg dan diastolic lebih dari 90 mmHg.

Etilogi.
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi
terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan
perifer
Namun ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:
a. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau
transport Na.
b. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
c. Stress Lingkungan
d. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua serta
pelabaran pembuluh darah.
Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Penyebab tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhi seperti
genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, system
rennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress.
b. Hipertensi Sekunder
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal. Penggunaan
kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.
Patofisiologi
Menurunnya tonus vaskuler meransang saraf simpatis yang diterukan ke sel
jugularis. Dari sel jugalaris ini bias meningkatkan tekanan darah. Dan
apabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada rennin
yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada
angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh
darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.
Selain itu juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan
retensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan
darah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan
pada organ organ seperti jantung.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah meningkatkan
tekanan darah > 140/90 mmHg, sakit kepala, epistaksis, pusing/migrain,
rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang kunang, lemah dan lelah,
muka pucat suhu tubuh rendah.


Komplikasi
Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.
Penatalaksanaan Medis
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
a. Penatalaksanaan Non Farmakologis.
1. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan
tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan
kadar adosteron dalam plasma.
2. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.
b. Penatalaksanaan Farmakologis.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
1. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4. Tidak menimbulakn intoleransi.
5. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti
golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium,
golongan penghambat konversi rennin angitensin.

Test diagnostic.
a. Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
c. Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
d. Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan
ada DM.
e. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
f. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang
P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
g. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,
perbaikan ginjal.
h. Poto dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.

Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat.
Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
Gejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
Tanda :Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,
kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian
kapiler mungkin lambat/ bertunda.
c. Integritas Ego.
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple
(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola
bicara.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu.)

e. Makanan/cairan
Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak
serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini
(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic
Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
f. Neurosensori
Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,
subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan
setelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,
epistakis).
Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,
efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.
g. Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakit
kepala.
h. Pernafasan
Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,
ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi
nafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
i. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
j. Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosporosis, penyakit
jantung, DM.
Faktor faktor etnik seperti: orang Afrika-amerika, Asia Tenggara,
penggunaan pil KB atau hormone lain, penggunaan alcohol/obat.
Rencana pemulangan : bantuan dengan pemantau diri TD/perubahan dalam
terapi obat.

Diagnosa, Kriteria hasil dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 .
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi
pembuluh darah.
Kriteria Hasil :
Klien berpartisifasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah / beban
kerja jantung , mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat
diterima, memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang
normal pasien.
Intervensi
1. Observasi tekanan darah (perbandingan dari tekanan memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang keterlibatan / bidang masalah vaskuler).
2. Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer (Denyutan
karotis,jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati / palpasi.
Dunyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi
(peningkatan SVR) dan kongesti vena).
3. Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas. (S4 umum terdengar pada
pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3
menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels,
mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya
atau gagal jantung kronik).
4. Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
(adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat
mencerminkan dekompensasi / penurunan curah jantung).
5. Catat adanya demam umum / tertentu. (dapat mengindikasikan gagal
jantung, kerusakan ginjal atau vaskuler).
6. Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas / keributan
ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal. (membantu untuk
menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi).
7. Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi. (dapat
menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang,
sehingga akan menurunkan tekanan darah).
8. Kolaborasi dengan dokter dlam pembrian therafi anti
hipertensi,deuritik. (menurunkan tekanan darah).

Dignosa 2
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
Kriteria Hasil :
Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan / diperlukan,
melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
Intervensi
1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter :
frekwensi nadi 20 per menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan
TD, dipsnea, atau nyeridada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat,
pusig atau pingsan. (Parameter menunjukan respon fisiologis pasien
terhadap stress, aktivitas dan indicator derajat pengaruh kelebihan kerja
/ jantung).
2. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan
/ kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada
aktivitas dan perawatan diri. (Stabilitas fisiologis pada istirahat
penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual).
3. Dorong memajukan aktivitas / toleransi perawatan diri. (Konsumsi
oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah
oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan
tiba-tiba pada kerja jantung).
4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi,
menyikat gigi / rambut dengan duduk dan sebagainya. (teknik penghematan
energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen).
5. Dorong pasien untuk partisifasi dalam memilih periode aktivitas.
(Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan
mencegah kelemahan).

Diagnosa 3
Gangguan rasa nyaman nyeri : sakit kepela berhubungan dengan peningkatan
tekanan vaskuler cerebral.
Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri / ketidak nyamanan tulang / terkontrol, mengungkapkan
metode yang memberikan pengurangan, mengikuti regiment farmakologi yang
diresepkan.
Intervensi
1. Pertahankan tirah baring selama fase akut. (Meminimalkan stimulasi /
meningkatkan relaksasi).
2. Beri tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit kepala,
misalnya : kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher serta teknik
relaksasi. (Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral dengan
menghambat / memblok respon simpatik, efektif dalam menghilangkan sakit
kepala dan komplikasinya).
3. Hilangkan / minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan
sakit kepala : mengejan saat BAB, batuk panjang,dan membungkuk. (Aktivitas
yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala pada adanya
peningkatkan tekanan vakuler serebral).
4. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan. (Meminimalkan penggunaan
oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien).
5. Beri cairan, makanan lunak. Biarkan klien itirahat selama 1 jam setelah
makan. (menurunkan kerja miocard sehubungan dengan kerja pencernaan).
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas,
diazepam dll. (Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf
simpatis).

Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
nutrisi in adekuat, keyakinan budaya, pola hidup monoton.
Kriteria Hasil :
klien dapat mengidentifikasi hubungan antara hipertensi dengan kegemukan,
menunjukan perubahan pola makan, melakukan / memprogram olah raga yang
tepat secara individu.
Intervensi
1. Kaji emahaman klien tentang hubungan langsung antara hipertensi dengan
kegemukan. (Kegemukan adalah resiko tambahan pada darah tinggi, kerena
disproporsi antara kapasitas aorta dan peningkatan curah jantung berkaitan
dengan masa tumbuh).
2. Bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi masukan
lemak,garam dan gula sesuai indikasi. (Kesalahan kebiasaan makan menunjang
terjadinya aterosklerosis dan kegemukan yang merupakan predisposisi untuk
hipertensi dan komplikasinya, misalnya, stroke, penyakit ginjal, gagal
jantung, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler
dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi).
3. Tetapkan keinginan klien menurunkan berat badan. (motivasi untuk
penurunan berat badan adalah internal. Individu harus berkeinginan untuk
menurunkan berat badan, bila tidak maka program sama sekali tidak
berhasil).
4. Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet. (mengidentivikasi
kekuatan / kelemahan dalam program diit terakhir. Membantu dalam
menentukan kebutuhan inividu untuk menyesuaikan / penyuluhan).
5. Tetapkan rencana penurunan BB yang realistic dengan klien, Misalnya :
penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. (Penurunan masukan kalori
seseorang sebanyak 500 kalori per hari secara teori dapat menurunkan berat
badan 0,5 kg / minggu. Penurunan berat badan yang lambat mengindikasikan
kehilangan lemak melalui kerja otot dan umumnya dengan cara mengubah
kebiasaan makan).
6. Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasukkapan
dan dimana makan dilakukan dan lingkungan dan perasaan sekitar saat
makanan dimakan. (memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang
dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian
pada factor mana pasien telah / dapat mengontrol perubahan).
7. Intruksikan dan Bantu memilih makanan yang tepat , hindari makanan
dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll)
dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan).
(Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam
mencegah perkembangan aterogenesis).
8. Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi. (Memberikan konseling dan
bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual).

Diagnosa 5
Inefektif koping individu berhubungan dengan mekanisme koping tidak
efektif, harapan yang tidak terpenuhi, persepsi tidak realistic.
Kriteria Hasil :
Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekkuensinya, menyatakan
kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi, mengidentifikasi potensial
situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari dan mengubahnya.
Intervensi
1. Kaji keefektipan strategi koping dengan mengobservasi perilaku,
Misalnya : kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan
berpartisipasi dalam rencana pengobatan. (Mekanisme adaptif perlu untuk
megubah pola hidup seorang, mengatasi hipertensi kronik dan
mengintegrasikan terafi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari).
2. Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak
mampuan untuk mengatasi / menyelesaikan masalah. (Manifestasi mekanisme
koping maladaptive mungkin merupakan indicator marah yang ditekan dan
diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic).
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan
strategi untuk mengatasinya. (pengenalan terhadap stressor adalah langkah
pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stressor).
4. Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisifasi
maksimum dalam rencana pengobatan. (keterlibatan memberikan klien
perasaan kontrol diri yang berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping,
dan dapat menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik.
5. Dorong klien untuk mengevaluasi prioritas / tujuan hidup. Tanyakan
pertanyaan seperti : apakah yang anda lakukan merupakan apa yang anda
inginkan ?. (Fokus perhtian klien pada realitas situasi yang relatif
terhadap pandangan klien tentang apa yang diinginkan. Etika kerja keras,
kebutuhan untuk kontrol dan focus keluar dapat mengarah pada kurang
perhatian pada kebutuhan-kebutuhan personal).
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan
hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketibang membatalkan tujuan
diri / keluarga. (Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara
realistic untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya).

Diagnosa 6
Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangn
Kriteria hasil
1. Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan.
2. Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang
perlu diperhatikan. Mempertahankan TD dalam parameter normal.
Intervensi
3. Bantu klien dalam mengidentifikasi factor-faktor resiko kardivaskuler
yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan
kolesterol, pola hidup monoton, merokok, dan minum alcohol (lebih dari 60
cc / hari dengan teratur) pola hidup penuh stress. (Faktor-faktor resiko
ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit
kardiovaskuler serta ginjal).
4. Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat.
(kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang
sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien / orang terdekat untuk
mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima
realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka perubahan perilaku
tidak akan dipertahankan).
5. Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan
gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut. (mengidentivikasi
tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudahj
dalam menentukan intervensi).
6. Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi
(pengertian,penyebab,tanda dan gejala,pencegahan, pengobatan, dan akibat
lanjut) melalui penkes. (Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien
tentang proses penyakit hipertensi).

IV. Evaluasi
Resiko penurunan jantung tidak terjadi, intoleransi aktivitas dapat
teratasi, rasa sakit kepala berkurang bahkan hilang, klien dapat
mengontrol pemasukan / intake nutrisi, klien dapat menggunakan mekanisme
koping yang efektif dan tepat, klien paham mengenai kondisi penyakitnya.




Powered By Blogger